BERSIKAP JUJUR DAN TIDAK MENIPU
Kejujuran dan
amanah adalah nilai luhur dan mendasar yang ditekankan islam dalam kegiatan
ekonomi, bisnis, dan usaha. Bahkan, ia merupakan puncak moralitas iman dan
karakteristik yang menonjol dari orang-orang beriman. Sebaliknya, kebohongan
adalah cabang kemunafikan dan atau merupakan ciri dari orang-orang munafik. Dan
bahkan, kebohongan dan ketidakjujuran merupakan bagian dari beberapa hal yang
memperburuk citra perdagangan dunia saat ini. Misalnya, praktek penipuan dalam
menerangkan spesifikasi barang, mengunggulkannya dari yang lain, serta dalam
memberitahukan harga belinya.
Dalam kaitan
ini, islam sangat menentang sistem perdagangan yang dipenuhi dengan
praktek-praktek penipuan dan manipulasi.
Sebaliknya,
Islam memotivasi manusia untuk senantiasa berlaku jujur, karena keberkahan hidup sangat tergantung padanya. Lebih dari
itu, islam juga memberikan apresiasi yang tinggi dan mulia terhadap
orang yang jujur , khususnya dalam kegiatan ekonominya, sebagaimana sabda Rasul:
التّاجرالصّدوق الامين مع النّبيّين والصديقين والشّهداء (رواه
الترمذي)
“pedagang yang jujur dan
dapat dipercaya akan bersama para Nabi, orang-orang yang membenarkan risalah
nabi dan para syuhada”.(HR.Tarmidzi)
Riwayat diatas
merupakan bentuk afirmasi akan signifikansi kejujuran dalam menjalankan sistem
perdagangan atau perekonomian. Dalam hal ini, nilai-nilai kejujuran terkait
erat dan tidak terpisah dengan amanah. Ia merupakan moralitas orang yang
beriman, sebagaimana khianat menjadi moralitas orang munafiq.
Pada aras ini,
konsekuensi amanah adalah mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya, baik
sedikit maupun banyak, tidak mengambil lebih banyak dari yang ia miliki, dan
tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa hasil penjualan, fee, jasa,
ataupun upah buruh. Dalam QS. An-Nisa’ ayat 58, Allah berfirman:
انّ الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها (النّساء :
58)
“sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya”.(QS.an-Nisa:58)
Ayat diatas menegaskan bahwa untuk menjadi seorang yang amanah, kita
harus dapat menyampaikan segala sesuatu kepada yang berhak, tanpa harus
mengurangi apalagi memanipulasinya.
Berkenaan dengan ini, amanah merupakan salah satu sifat utama dan
refleksi dari akhlak mulia sehingga merupakan sesuatu yang semestinya menjadi
pakaian orang-orang yang beriman. Sebab dengan sifat amanah, seseorang akan
merasa tenang dana aman untuk berhubungan, berinteraksi, dan bermu’amalah dalam
mengisi kehidupan. Selain itu, dengan sifat amanah, seseorang juga akan
terhindar dari tindakan yang merugikan orang lain.
Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari uswah hasanah sejarah
kehidupan Rasulullah. Sebagaimana diketahu, jauh sebelum mengemban risalah
kenabian, Muhammad sudah dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya.
Setiap pedagang yang hendak mengembara, selalu menitipkan kekayaan dan
barang-barang kepadanya. Pada aras ini, mereka percaya, karena dia telah
berhasil membuat identitas pribadi melalui perilaku kesehariannya sebagai orang
yang dapat dipercaya .
Bahkan, karena besarnya determinasi dia dalam memegang sikap amanah,
masyarakat Makkah pada waktu itu memberinya gelar al-Amin (yang dapat
dipercaya).
Ilustrasi kecil tentang sejarah kehidupan nabi tersebut mengindikasikan signifikansi
sifat amanah dalam berinteraksi dan bermu’amalah dengan sesame manusia,
khususnya dalam kegiatan ekonomi. Berkenaan dengan ini, sifat amanah, sedapat
mungkin harus kita jadikan sebagai karakter dalam hidup bermasyarakat . karena
bagaimanapun juga, kita tidak akan dapat bergaul dan bermu’amalah dengan baik
doi tengah-tengah masyarakat, jika orang tidak menaruh kepercayaan terhadap
kita .
Namun demikian, sifat amanah akan menjadi bagian integral dari sifat
manusia, apabila dalam dirinya sudah tertanam sifat muraqabah, merasa selalu
dalam perlindungan dan pengawasan Allah. Sebab, dengan tertanamnya sifat
muraqabah dalam diri manusia, maka dia akan sadar bahwa tanggung jawab yang dia
emban atas suatu urusan, bukan hanya
menjadi urusan dirinya dengan orang yang memberi amanah, akan tetapi juga
terkait dengan tanggung jawabnya terhadap Allah.
Bila pada batas Mu’amalah kemanusiaan dia barangkali bisa melakukan
pengkhianatan tanpa sepengetahuan orang lain, maka apakah ada sesuatu yang
tersembunyi dari pengawasan Allah?
Berkenaan dengan ini, ada sebuah kisah menarik pada masa Khalifah Umar
bin Khattab. Ketika bertemu dengan seorang penggembala dalam mengemban amanah
berupa kambing yang telah dititipkan seorang majikan kepadanya. Waktu itu, umar
membujuk sang penggembala untuk menjual salah satu dari sekian banyak jumlah
kambing yang digembalakanya.
Lebih jauh Umar mengatakan bahwa dengan kambing yang sebanyak itu,
majikanya tidak akan tahu kalau sang penggembala menjual salah satunya.
Mendengar bujukan Umar, dengan bijaksana sang penggembala menjawab: “ kalau
begitu dimanakah Allah?” umar tersenyum, lalu berkata inilah jawaban dari seorang
yang memegang teguh amanah dan menyandarkan semua urusan muamalahnya kepada
Allah SWT.
Lebih jauh lagi, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami,
Nabi Muhammad menegaskan bahwa amanah itu mendatangkan rezeki, sedangkan
khianat itu mendatangkan kemiskinan. Secara logika, hal ini merupakan suatu hal
yang sangat masuk akal. Sebab, amanah akan menimbulkan kepercayaan orang lain
terhadap kita dalam segala sisi kehidupan, termasuk dalam dunia bisnis dan
kegiatan perekonomian. Sebaliknya, khianat akan menutup jalur kepercayaaan
orang lain terhadap kita. Implikasinya, jangankan urusan perekonomian, untuk
urusan yang sepele saja terkadang orang tidak akan percaya lagi terhadap kita.
Demikianlah
ilustrasi tentang signifikansi amanah dan kejujuran dalam menjalani kehidupan,
khususnya dalam menjalankan roda perekonomian melalui berbagai kegiatan ekonomi
dan bisnis. Sehingga menjadi rizki bagi seluruh investor itu sendiri.
Sebaliknya, khianat akan menjadi faktor yang akan merusak kesepakatan sehingga
akan merugikan orang lain.
Daftar Pustaka :
Efendi, Firdaus, 10 petunjuk membangun bisnis islami, Cet. 1,
Jakarta:NM Press,2004.

Komentar
Posting Komentar